Memahami Pendidikan Kristen
Peserta Didik Berdasarkan Pandangan Alkitab
Konsep fall atau kejatuhan manusia ke dalam dosa merupakan salah satu konsep yang penting dalam pendidikan Kristen. Alkitab banyak sekali menuliskan bahwa manusia memiliki natur dosa yang membuat mereka cenderung untuk bertindak berlawanan dengan firman Tuhan. Dalam Amsal kita menemukan: “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya” (22:15). Dalam Mazmur Daud mengatakan: “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku” (51:5). Paulus juga mengatakan kepada jemaat di Efesus bahwa “sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain” (2:3). Berkhof juga mengatakan, pengalaman mengajarkan kepada kita dengan sangat jelas bahwa peserta didik (terutama anak-anak) tidak sebaik, suci, dan innocent sebagaimana yang dikatakan oleh pedagogi modern. Untuk menegaskan hal ini, Lawrence Richards menjabarkannya dengan baik dengan mengatakan dilihat dari sejarah, kekristenan memandang dan meyakini dosa adalah sebuah realitas dan bukanlah mitos, hal tersebut benar-benar terjadi di dalam ruang dan waktu, serta membawa hasil yang tragis.
“Historically Christians have understood sin as a reality, and have accepted the fall not as a myth but as something real in space and time, with tragic outcomes which have in turn been worked out in space/time history.”
Richards juga menjelaskan pasal-pasal awal dari kitab Kejadian memberikan informasi-informasi yang kaya mengenai apa dan siapa itu manusia. Manusia diciptakan dengan cara yang unik, karena hanya kepada manusia Allah mengatakan: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa…” (Kej. 1:26). Bahkan setelah peristiwa kejatuhan, manusia masih dipandang sebagai ciptaan yang spesial di hadapan Allah, seperti yang ditulis dalam Kejadian 9:6 “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Hal ini bukan menunjukkan bagaimana etika masyarakat primitif untuk membalas dendam, tetapi sebuah afirmasi betapa berharganya kehidupan manusia di hadapan Allah.
Pada Kejadian 3 dapat ditemukan kejatuhan manusia ke dalam dosa akibat ketidaktaatan manusia pada perintah Allah dan membawanya kepada kematian secara rohani, di mana manusia tidak lagi dapat mencapai kesempurnaan yang Allah kehendaki. Kejatuhan tersebut tidak membawa manusia mati secara “total” atau rusak sampai tidak dapat berbuat baik lagi sebagai manusia. Adam dan Hawa serta keturunannya masih dapat menghidupi kehidupannya dengan baik, mereka masih dapat hidup berbudaya, mengembangkan budaya kehidupan, seni, dan sosial, seperti yang Richards jelaskan:
“So the fall has not destroyed the capacity of men to live and to learn and to create within the framework of the natural universe. The fall has not destroyed the capacity of men to dream dreams, or to imagine utopias. What the fall has destroyed is man’s capacity to grasp the supernatural, and to experience envisioned relationships that demand submersion of the selfish in God’s kind of love.”
Dari perikop pasal tersebut, Alkitab menjelaskan bahwa manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga kualitas hidupnya tidak dapat mencapai standar yang Allah inginkan dan memiliki kecenderungan untuk memberontak terhadap Allah. Inilah yang menjadi pergumulan para pendidik Kristen dalam memandang peserta didik yang mereka ajar.
Pendidik Kristen Berdasarkan Alkitab
Stephen Tong di dalam bukunya yang berjudul Arsitek Jiwa II, menjelaskan bahwa guru Kristen berbeda dengan guru agama lain. Dalam konsep kekristenan, adalah Allah yang berinisiatif mencari manusia yang telah jatuh dalam dosa untuk diselamatkan (konsep Teosentris), sedangkan agama lain mengajarkan manusia yang harus berusaha mencari Allah dan menemukan keselamatannya dengan cara hidup yang diusahakan sesempurna mungkin (konsep Antroposentris). Dari konsep inilah pendidikan Kristen dibangun, yaitu pendidikan yang menjadikan Kristus sebagai pusat dan porosnya. Oleh karena itu pendidik Kristen harus memiliki keunikan iman kepercayaan kekristenan di dalam hidupnya, yang menjadikannya seorang guru Kristen. Seperti yang Stephen Tong katakan “Guru Kristen seharusnya adalah seorang Kristen yang menjadi guru”.
Di dalam bukunya The Christian Educator’s Handbook on Teaching, Hendrick menjelaskan keutamaan Kristus sebagai role model bagi pendidik Kristen. Selama hidup-Nya sebagai manusia Kristus adalah pemilik otoritas tertinggi dan merupakan prototipe bagi pengajaran, meskipun Dia tidak pernah membicarakannya secara khusus. Namun dari hidup-Nya sendiri, Ia memberikan teladan. Hendrick juga mengatakan, di dalam Perjanjian Baru terdapat lebih dari 40 epithets (kata, sebutan, atau frase yang ditujukan bagi seseorang) yang mendeskripsikan pribadi dan pekerjaan Yesus Kristus. Sebagai contoh, Yesus adalah Tuhan, Mesias, Juru Selamat, Anak Allah, Anak Manusia, dan sebagainya. Kemudian di dalam Kitab Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) juga digunakan kata “Guru”, sebanyak 45 kali, yang mana 14 epithet untuknya adalah Rabbi. Hal ini sangat jelas membuktikan salah satu pelayanan utama yang Yesus lakukan adalah pengajaran.
Dalam Fondasi Pendidikan Kristen, Pazmino menyatakan standar Alkitab bagi pendidik meliputi: (1) harus seorang yang percaya kepada Kristus (1 Kor. 12:27-28); (2) terpanggil oleh Allah dan mempunyai karunia mengajar (Roma 12:7; 2 Tim. 2:2); (3) setia pada doktrin yang benar (1 Tim. 3:1-7; Yak. 3:1); dan (5) bertanggung jawab di hadapan Allah atas hidup dan pengajarannya (Mat. 23:10; 1 Tim. 4:12-16; Yak. 3:1). Pazmino juga menjelaskan bahwa pendidik Kristen dipanggil untuk menyampaikan informasi yang Alkitabiah serta konsep dan perspektif iman Kristen. Tidak berarti mereka harus menyangkal semua atau sebagian besar materi-materi yang telah diajarkan selama ini, justru pendidik Kristen bisa membagikan ide-ide penting sebagai tambahan dari berbagai bidang ilmu dan mata pelajaran lainnya, dengan syarat apakah hal-hal tersebut selaras dengan cara pandang yang Alkitabiah. Pendidik Kristen adalah pakar dalam arti sejauh mana dia mampu menunjukkan kesetiaannya kepada Allah dan pada bidang ilmu yang ia ajarkan.
Seorang pendidik Kristen yang sejati, harus menyadari inti dari Kekristenan itu sendiri yang diajarkan oleh Alkitab, yaitu amanat agung yang ditulis dalam Matius 28:19-20 untuk menjadikan semua orang murid Kristus, yang harus dilandasi atas perintah Allah yang ditulis dalam Matius 22: 37-40; Yohanes 15:17 mengenai mengasihi sesama. Prinsip Alkitab yang agung ini memberikan suatu landasan berpikir bahwa pendidikan Kristen harus dimulai dengan kasih Kristus (Agape: kasih yang tidak bersyarat) dan diakhiri untuk kemuliaan Kristus. Tanpa kesadaran akan landasan ini, pendidik tidak akan punya “kaki” yang kuat untuk berpijak dan juga tidak tahu ke mana ia melangkah.
Dari penjelasan tersebut, semakin sadar akan pentingnya peran pendidik Kristen dengan standar-standarnya yang berdasarkan Alkitab. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus terus menegaskan peran vital mereka di dalam sekolah atau kampus. Pada jurnalnya, dalam ICHEC (International Christian Higher Education Conference), Thompson menekankan hal tersebut:
“If genuinely Christian education is to be practiced in our institutions, teachers who embody the word of God, who have the Bible in their bones, and who desires, imaginations and characters are fired by the gospel of Christ are crucial. Such teachers are the most valuable resouces of the Christian schools. Teachers with these characteristics must be sought after, trained, protected, in-serviced, mentored, and nurtured such that they remain in our schools, eventually assume leadership roles and leaven the whole movement with Biblical knowledge, gospel participation, wisdom, imagination and zeal… I fear we are not doing enough to raise up and retain such teachers. To my mind this remains the greatest challenge for all of us involved in Christian education…”
Pendidik dengan kualitas-kualitas tersebut harus terus dipertahankan, dilatih, diberi motivasi, diapresiasi dan diberdayakan dengan sangat baik. Wilson di dalam bukunya The Case for Classical Christian Education juga mengatakan memang kebutuhan kita akan pendidik merupakan sesuatu yang urgent, namun tidak berarti standar atau kualifikasi diturunkan. Mengutip dari R. L. Dabney, Wilson menuliskan “We need the best men and women to teach our children. But the best are true Christians, who carry their religion into everything.” Sekolah atau institusi Kristen bertanggung jawab untuk menciptakan pendidik-pendidik demikian dan diharapkan mereka dapat menjadi teladan bagi pendidik-pendidik lain yang belum atau dalam proses mencapai kualitas tersebut. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa pendidikan Kristen dapat diartikan sebagai misi iman Kristen dalam memulihkan gambar dan rupa Allah dari dosa, serta membina potensi–potensi yang ada di dalam dirinya, yaitu perspektif spiritual/rohani (rasa, cipta, hati nurani), mental (pikiran, perasaan, kehendak), dan aspek jasmani (panca indera dan kemampuan–kemampuannya). Dalam mewujudkan pendidikan yang baik, maka tiga ranah potensi tersebut harus tercakup, jika salah satu saja tidak tersentuh, maka pendidikan tidak akan maksimal, timpang, bahkan gagal. Pendidikan dapat diselenggarakan melalui bentuknya yang formal (sekolah, universitas) dan non-formal (kursus, pelatihan). Pendidikan Kristen membawa manusia untuk kembali kepada hidup yang seutuhnya di dalam Kristus. Oleh karena itu, peran pendidik Kristen sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan Kristen. Mereka bertanggung jawab atas perintah dan mandat yang Allah ajarkan di dalam Alkitab untuk menjadikan para murid/peserta didik mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu manusia yang berlandaskan Kristus dan bertujuan memuliakan Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar